This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 28 September 2010

Mengenal Kitab Wahyu (Apocalypse) = karangan Yohanes

Mengenal Kitab Wahyu (Apocalypse)
Penulis Kitab Wahyu (Apocalypse) mungkin merupakan Kitab satu-satunya yang mengakui dengan jelas peran inspiratif dalam penulisannya, Namun Kitab terakhir Perjanjian Baru ini masih saja menyisakan berbagai persoalan.
Secara tradisional penulisan Kitab ini dinisbatkan kepada Johannes, walaupun perdebatan masih terjadi merujuk kepada identitas Johannes yangdimaksud. Konon Kitab ini ditulis berdasarkan Mimpi-mimpi Johannes saat diasingkan di pulau Patmos. Mimpi-mimpi yang diasumsikan sebagai inspirasi Ilahiah terhadap Johannes berisi simbol-simbol aneh, yang tampaknya sangat menarik bagi penduduk di masa itu.
mimpiJohannes berisikan nubuat-nubuat apokalips dan kisah-kisah simbolis akhir jaman yang kebenarannya tidak dapat terbukti kecuali setelah terjadi. Untuk menguji kebenarannya, kita perlu meninjau petunjuk Perjanjian Lama :

Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.
Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? --
apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya." (Ulangan 18:20-22)

Melihat peringatan ayat tersebut, tampaknya penulis Kitab ini harus mempertaruhkan nyawanya di tangan Allah. Sebab, bila ia menulisnya tanpa dasar wahyu yang sesungguhnya, ia telah melakukan dosa yang sangat besar. Ayat di atas dapat pula diterapkan pada pernyataan-pernyataan Paulus dalam berbagai suratnya, yang mengatasnamakan ajaran atau ucapan Yesus.
Sebenarnya tiada yang istimewa dari nubuat Johannes, Seorang awam dapat saja meramalkan terjadinya peperangan, bencana alam, kelaparan, wabah penyakit di masa depan tanpa perlu menjadi rasul atau peramal. Tidak lain karena hal-hal tersebut (peperangan, bencana, wabah) merupakan suatu kepastian yang mesti terjadi tanpa perlu diramalkan, peristiwa-persitiwa itu sudah terjadi bahkan sejak manusia menginjakan kakinya di dunia. Satu-satunya taruhan besar yang dilakukan penulis Wayhu adalah saat mengatakan bahwa akhir jaman telah dekat.
Pernyataan akan kedatangan akhir jaman memang selalu menjadi favorit pemuka Agama yang ingin mendapatkan banyak penganut secara instan. Entah telah berapa ribu orang yang memproklamirkankan kedatangan akhir jaman, tetapi pada akhirnya perhitungan mereka semua yang mengaggukan tersebut terhempas ke tanah dan terkubur oleh waktu.
Kaum Yahudi (atau kristen) saat itu memang sangat menyukai kisah-kisah nubuat kehancuran jaman, dimana kaumnya akan memenangkan peperangan melawan kafir, dan sungguh mereka tidak sabar atas kedatangan peristiwa tersebut. Yesus sendiri, mendapatkan banyak dukungan ketika ia mengikrarkan kedatangan akhir jaman, para pendukungnya mengira Yesus sendiri yang akan memimpin perlawanan terhadap kekaisaran Romawi, sayangnya harapan tersebut tidak terjadi dan Yesus akhirnya tidak melakukan perlawanan apapun terhadap kekaisaran.
Tetapi tetap saja, umat Yahudi pasca kematian Yesus tetap menantikan akhir jaman tersebut. Berbagai kisah apokalips palsu disusun atas kemauan mereka sendiri dan menisbatkan penulisannya terhadap orang-orang terpandang seperti Petrus dan tokoh penting lain. Salah satunya adalah Kitab Apocalypse of Peter merupakan salah satu Kitab apokrip yang ditulis sekitar tahun 100-150 M., seratus tahun setelah kematian Petrus yang asli ! Selain itu dikenal juga Kitab kisah apokaliptik atas nama Yakobus dan Paulus, keotentikan keduanya sangatlah diragukan.
Kaum Yahudi sebelum masa Yesus juga gemar membuat Kitab serupa yang penulisannya diatributkan kepada nabi-nabi mereka, seperti Musa, Nuh dan Henokh. Semua itu demi memenuhi ketidaksabaran mereka atas kedatangan messias yang akan membawa mereka keluar dari penderitaan selama berabad-abad. Sedih melihat kenyataan bahwa ketika mesias tersebut benar-benar datang, mereka menyangkalnya. Saat para penulis Perjanjian Baru menyusun karyanya pun, mereka meyakini dekatnya akhir jaman. Termasuk penulis Kitab mimpi ini, ia mengatakan :

“Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.”(wah 1:3)

Mereka bertambah yakin atas dekatnya akhir jaman setelah melihat kaumnya dibantai penguasa Romawi yang mereka anggap sebagai perwujudan sang setan. Mereka tidak mengetahui perkembangan masa depan dimana “sang setan” akan berteman dengan kaumnya sendiri, yaitu saat Konstantin memproklamirkan agama Kristen tirinitas sebagai agama negara. Akhir jaman tampaknya harus tertunda beberapa abad lagi.
mimpi Johannes berbentuk analogi-analogi atau simbol-simbol yang tidak masuk akal. Kisahnya harus diartikan secara khusus atau Kitab ini tidak berharga sama sekali. Bagaimanapun seluruh isi Kitab ini merupakan mimpi seorang Johannes, patut kita pertanyakan mengapa Yesus tidak sempat memberikan kisah-kisah atau pernyataan-pernyataan ini selagi hidup agar dapat diketahui seluruh muridnya, mengapa tidak ada suatu Kitab tersendiri berjudul “The apocalypse of Yesus” yang ditulis oleh Yesus sendiri ? Dan mengapa ia harus menyatakannya dalam mimpi Johannes yang tidak dikenal. Pengakuan keotentikan dari para Bapak Gereja awal juga beragam, sebagian menolak dan lainnya menerima. Marilah kita menyimak sejarah penerimaan Kitab ini sebagai anggota Kitab suci.

Sejarah Penerimaan

Secara tradisional penulis Kitab ini adalah rasul Johannes, tanpa memperdulikan berbagai persoalan yang diakibatkan keputusan ini. Tradisi menyebutkan Johannes sempat menulis beberapa karya lain dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil, surat-surat dan Kitab wahyu ini. Sayangnya sampai saat ini kita masih belum menemukan bukti kuat untuk mendukung pandangan tersebut. Dukungan teori ini memang muncul melalui pernyataan beberapa bapak gereja awal, khususnya Iranaeus. Menurutnya Johannes mendapatkan visi saat diasingkan di pulau Patmos oleh rejim Dominitian, sekitar tahun 95 M.. Sedangkan sarjana modern yang menyangkal kepenulisannya turut mendapat dukungan dari karya-karya bapak Gereja awal seperti Dyonisius, Papias, dan Eusebius.
Marcion yang mencium aroma Yahudi yang kuat pada Kitab ini tidak ketinggalan menolak keotentikannya. Para Alogi dan Dynosius menganggap baik Injil maupunKitab wahyu sebagai karya heretis Cerinthus. Pandangan mereka cukup mempengaruhi pandangan Gereja Timur secara umum, sehingga tidak serta merta menerima kanonitas Kitab ini. Dalam riwayat lain, Kitab ini absen dari Kitab sinopsis Athanasius, daftar tujuh puluh Kitab, Pesshita (Bible Syria) dan berbagai catatan penting lainnya. Kelompok Nestorian dan Jakobian turut menolak otoritas Kitab ini. Kaum Kristen Syria hingga saat ini menolak karena melihat penggunaan Kitab ini dalam kalangan heretis Montanis. Sebaliknya Gereja barat secara umum menerima otoritas Kitab ini, kecuali Jerome yang menempatkanya dalam status diragukan, berada di antara status canonikal dan apokripa.
Pada dasarnya penolakan didasarkan atas perbedaan penggunaan bahasa Yunani dalam Kitab ini yang berbeda apabila dibandingkan dengan teks Injil Johannes yang dianggap ditulis oleh orang yang sama. Bagaimanapun kita tidak boleh menganggap ringan pandangan ini. Perbandingan gaya penulisan merupakan satu bentuk pengujian keotentikan yang cukup akurat. Bila kita dapat menerapkan pengujian tersebut terhadap tulisan-tulisan Paulus, mengapa kita tidak dapat menerapkan ujian yang sama pada karya-karya yang dianggap ditulis oleh Johannes ?
Tom Harpur dalam "America obsessed with future apocalypse” hal 57 menyebutkan bahwa penulis Kitab wahyu menggunakan bahasa Yunani kasar, sedangkan Injil Johannes terkenal atas bahasa Yunani halusnya. Bila menggunakan pertimbangan tersebut, tampaknya rasul Johannes lebih memungkinkan untuk menulis Kitab ini daripada Injil. Dengan asumsi rasul Johannes Hanyalah seorang nelayan galilea yang berbicara dengan bahasa Aramia dalam kehidupan sehari-harinya. Atas dasar itulah ia tentunya tidak akan menulis suatu karya dengan bahasa Yunani yang sempurna. Dyonisius bahkan mempertimbangkan nama Johannes Markus sebagai penulis Kitab ini, dengan dasar kesamaan penggunaan bahasa kasar dalam Injil Markus.
Perbandingan bahasa bukan satu-satunya alat penguji keotentikan Kitab ini. Ada dua ujian lagi yang harus dilewati. Tidak lain adalah kesulitan waktu. Dengan anggapan rasul Johannes menulis Kitab ini di akhir abad pertama di pulau Patmos, akan bertentangan dengan pandangan bahwa Johannes yang sama menulis Injinya pada waktu yang sama di Efesus atau daerah lain diluar Patmos. Selain itu ia pastilah telah berumur sangat tua saat menulis Kitab ini. Dengan perkiraan ia menjadi murid Yesus saat berumur 20 tahun-an (ia merupakan murid termuda), ia telah berumur seabad lebih saat menulis Kitab ini. Mampukah seseorang berumur seabad lebih menulis beberapa Kitab sekaligus ? Beberapa riwayat bahkan menyebutkan waktu kematian yang lebih awal bagi Johannes. Kesulitan selanjutnya adalah perbedaan dari sisi teologi. Perbandingan Injil Johannes dan Kitab wahyu menunjukan muatan teologi yang berbeda, Dyonisius turut menyadari hal ini sehingga tekadnya untuk menolak otoritas rasul Johannes atas Kitab ini menguat.
Perbedaan lain yang dianggap kadang terlewatkan adalah frase favorit Injil Johannes, “murid terkasih”, yang tidak pernah disebutkan dalam Kitab ini. Dibandingkan dengan surat Johannes (I, II dan III Johannes), Penulis Kitab ini juga tidak malu membubuhkan namanya, berbeda saat ia menulis surat-surat Johannes yang miskin identitas. Masih dari segi bahasa, saat Injil Johannes membicarakan Kristus sebagai “domba”, ia mengggunakan kata”amnos”, sedangkan Kitab wahyu menggunakan kata “arnion”. Selajutnya dalam penyebutan kata Jerusallem, Penulis Injil menyebutnya sebagai “ierosoluma”, sedangkan Kitab wahyu menggunakan kata “ierousalem”. Penulis Kitab wahyu tampaknya masih terpengaruh bahasa Ibrani yang kuat, sedangkan Injil Johannes menunjukan penguasaan bahasa Yunani lebih sempurna.

Waktu Penulisan

Sesuai dengan riwayat Iranaeus yang menyebutkan bahwa Johannes menperoleh visinya pada masa akhir kekuasaan Dominitian, maka penentuan masa yang lebih awal menjadi semakin mustahil. Tradisi menyebutkan bahwa Iranaeus merupakan kawan dari Polycarp, yang pernah menjadi murid Johannes di Efesus. Masalahnya, dengan perkiraan masa Dominitian sebagai waktu penulisan Injil ini, maka Johannes pastilah telah berumur sekurangnya seratus tahun saat menulisnya ! Selain itu nubuat mengenai kehancuran Jerusalem akan menjadi sia-sia karena telah terjadi. Itulah sebabnya para sarjana konservatif terus berusaha mencari alasan untuk menempatkan waktu penulisan Kitab ini sebelum kehancuran kuil Jerusallem, dalam jangka waktu tahun 60-69 M. atau sebelum rejim Nero. Keputusan ini meninggalkan pertanyaan tempat penulisan karena Johannes mengaku penulisan Kitab ini dilakukan di pulau Patmos (1:9). Tidak ada riwayat yang pernah menyebutkan bahwa Johannes diasingkan di pulau tersebut oleh Nero atau kaisar sebelumnya.
Pandangan mengenai waktu penulisan Kitab yang lebih awal (60-69 M.) memiliki dasar-dasar sebagai berikut, dan sebagai pembantahan saya menggunakan argumen E.B. Horae Elliott :

* Sarjana konservatif akan mengacu pada nubuat Johannes mengenai kehancuran kuil, yang mengindikasikan bahwa Kitab ini ditulis sebelum peristiwa tersebut. Tetapi kenyataanya nubuat ini tidak harus ditujukan terhadap kuil Jerusallem, perumpamaan mengenai kuil biasa dilakukan oleh penulis-penulis Yahudi lainnya seperti Ezeliel, Daniel, Zakaria, dll.. Elliot melihatnya dari sisi yang tidak jauh berbeda, ia menganggap nubuat mengenai kehancuran kuil hendaknya tidak diartikan secara literal atau fisik, tetapi harus ditafsirkan secara lebih luas seperti simbol-simbol lain yang Johannes berikan dalam Kitab ini.
* Beberapa sarjana konservatif menuduh Iranaeus telah memberikan riwayat yang ambigu atau bahkan keliru saat menyebutkan bahwa Johannes memperoleh visinya di masa akhir Dominitian. Riwayat Iranaeus merupakan batu sandungan utama bagi penentuan waktu penulisan yang lebih awal. Dengan kata lain, Seorang sarjana konservatif mau tidak mau harus menolak kredibilitas pencatatan sejarah oleh Iranaeus. Apabila hal tersebut benar terjadi, Sesungguhnya para sarjana tersebut telah melakukan keputusan yang sangat subjektif, mereka hanya menerima pandangan yang sesuai dengan pendapat pribadi mereka, yang senantiasa melekat dengan dogma-dogma dan pandangan tradisional. Elliot dalam hal ini berusaha mempertahankan kredibilitas Iranaeus. Menurutnya Iranaeus merupakan salah satu sarjana Kristen awal yang paling terkemuka, ia mendapat ajaran langsung dari Polycarp yang merupakan murid langsung Johannes.
* Meurut para sarjana tradisional, riwayat Iranaeus merupakan satu-satunya dukungan terhadap penentuan waktu penulisan yang lebih akhir, sebaliknya terdapat lebih banyak dukungan terhadap penetuan waktu yang lebih awal. Kita akan melihat bahwa pandangan ini tidaklah tepat, Elliot akan menunjukan fakta yang berkebalikan. Ia mencatat setidaknya beberapa nama bapak Gereja awal yang mendukung pandangan Iranaeus, pribadi-pribadi tersebut turut memiliki kredibilitas yang tinggi. Mereka adalah Tertullian, Clement dari Alexandria, Cvictorinus, Eusebius dan Jerome. Sebaliknya dukungan terhadap waktu awal sangatlah sulit untuk ditemukan dan kadang berasal dari sarjana yang kredibilitasnya diragukan.
* Penulisan Kitab ini dilakukan pada masa umat Kristen diburu dan dibantai, oleh karena itu rejim Nero merupakan waktu yang paling tepat. Pandangan ini, tentu saja, menyisakan berbagai pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Penyiksaan yang terjadi terhadap umat Kristen diketahui terjadi pada tiga masa pemerintahan Romawi, yaitu Nero, Dominitian dan Trajan. Ketiga rejim tersebut memiliki cara yang berbeda dalam menyiksa umat Kristen, dan Nero merupakan pengguna metode yang paling keras dan kejam berupa pembakaran dan pembantaian. Dominitian diketahui hanya mengasingkan umat Kristen dan menghindari pembantaian. Tentu saja ini akan menjadi dukungan bagi pandangan bahwa Johannes menulis kitab ini di pulau Patmos saat diasingkan rejim Dominitian. Bila Johannes menulis kitab atau Injilnya pada masa Nero, ia mungkin akan menerima perlakuan yang sama seperti yang dialami oleh Petrus dan Paulus, tidak lain adalah hukuman mati ! Kekejaman Nero diketahui hanya meliputi daerah sekitar Roma, sedangkan Dominitian mencapai daerah asia Minor. Oleh karena itu dapat dipahami adanya peringatan Johannes terhadap tujuh gereja di Asia Minor (Wah 1:11).


Beberapa pertanyaan lain akan muncul dengan asumsi kesamaan identitas penulis kitab wahyu dan Injil Johannes, apakah Johannes menulis kitab wahyu sebelum Injil, atau sebaliknya ? Mengacu pada kesimpulan tersebut, maka penentuan waktu penulisan akan dilihat dari perbedaan bahasanya karena perkembangan bahasa kedua kitab diperkirakan memerlukan waktu berpuluh tahun. Pertanyaan kedua kemudian muncul, bila Johannes menulis kitab wahyu terlebih dahulu di pulau Patmos, lalu dimanakah ia menulis Injilnya ? Johannes diyakini mengakhiri hidupnya tidak lama setelah kembali dari pengasingan di pulau Patmos, sedangkan penulisan Injil diyakini dilakukan di Efesus. Tidak ada tradisi yang menyebutkan bahwa Johannes yang tua renta melakukan perjalanan dari Patmos ke Efesus.
Selain itu perbedaan penggunaan gaya bahasa cukup menyulitkan para sarjana untuk merekonstruksi sejarah penulisan dua karya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Masalah lain, sangatlah sulit untuk membayangkan Johannes menulis Injilnya pada umur yang sangat tua. Seorang normal berumur seabad bahkan penglihatannya sudah kabur, dan kemampuannya untuk menulis sangat rendah.
Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa, siapapun penulis kitab ini sebenarnya, ia menulisnya pada masa Dominitian atau sekitar tahun 96 M.. Selanjutnya beberapa sarjana menganggap kitab wahyu sebagai penutup turunnya wahyu, sehingga karya-karya yang ditulis setelahnya tidak sempat mendapat “inspirasi” Roh Kudus. Pandangan ini menimbulkan akibat yang lebih serius lagi, bila Johannes menulis kitab wahyu sebelum kehancuran kuil Jerusallem tahun 70 M., mau tidak mau kita harus membantah kebanyakan kitab Perjanjian baru yang ditulis paska masa tersebut, termasuk beberapa Injil.

Metode Penafsiran

Seperti diketahui bahwa Johannes menggunakan simbol-simbol dalam pemaparannya mengenai hari akhir. Saya tidak akan berusaha untuk menafsirkan simbol-simbol tersebut, tetapi lebih membicarakan metode-metode penafsiran simbol-simbol tersebut oleh para sarjana. Dalam hal ini para sarjana terbagi atas empat golongan penafsiran.

* Pendekatan para Praeteris
* Dengan kata lain menganggap kitab wahyu hanya menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi di abad pertama, tentu saja dengan dasar Johannes menulisnya beberapa saat setelah kehancuran Jerusallem. Karena menceritakan hal yang telah terjadi, istilah “nubuat” perlu diganti dengan “mengisahkan”. Selain mempertimbangkan bahwa sudah menjadi gaya sastra saat itu untuk mengisahkan kejadian yang telah terjadi seolah-olah kejadian tersebut belum terjadi dan diramalkan akan terjadi. Pemaparan Johannes yang mencakup kehancuran kuil, beberapa kekejaman yang terjadi atas umat Kristen, wabah, dan lain-lain, memang pernah terjadi di abad pertama.
* Pendekatan para Futuris
* Pendekatan ini dilakukan oleh sebagian umat Kristen, mempercayai bahwa kitab wahyu berisikan nubuat-nubuat kejadian yang menyertai kedatangan kedua Yesus. Tanda-tanda akhir jaman memang sudah terjadi, tetapi beberapa belum terpenuhi. Salah satu tanda yang akan menyertai akhir jaman maupun kedatangan kedua Kristus adalah jatuhnya Jerusallem ke tangan anti-Kristus. Walaupun banyak yang membaca anti-Kritus disini sebagai pasukan setan, banyak juga yang menafsirkan anti-Kristus sebagai kaum Yahudi atau Muslim. Para Kristen fundamentalis Amerika umumnya memilih pemikiran terakhir tersebut, menurut mereka dukungan terhadap Israel akan mempercepat turunnya sang Yesus. Disebutkan pula bahwa kaum Yahudi yang membantu perebutan Jerusallem dari tangan Muslim akan kebagian “keselamatan”, dan pada akhirnya menjadi Kristen. Pemikiran semancam ini sangat dipengaruhi oleh iklim politik Amerika-Israel dan Timur tengah yang berbau propagandis.
* Pendekatan Historis
* Tidak jauh berbeda dari pendekatan yang dilakukan para Futuris, golongan ini beranggapan bahwa sebagian besar kejadian atau nubuat dalam kitab wahyu telah terjadi, sejak penyiksaan yang dilakukan terhadap umat Kriten oleh Nero. Salah satu kejadian penting yang belum sepenuhnya terjadi adalah kejatuhan Jerusallem ke tangan anti-Kristus. Dalam hal ini saya perlu meluruskan pandangan kebanyakan umat Kristen bahwa sang anti-Kristus adalah kaum Muslim. Bila benar Muslim adalah sang anti-Kristus, akhir jaman pastilah telah terjadi beberapa abad lalu, saat kaum Muslim berhasil menduduki Jerusallem di perang salib.
* Pendekatan Idealis
* Penafsiran kitab wahyu yang dilakukan secara idealis berarti tidak mengartikan simbol-simbol didalamnya secara khusus, melainkan secara umum. Seluruh materi didalamnya hanya diartikan sebagai simbol pertempuran abadi antara kebaikan melawan kejahatan. Simbol tersebut dapat diterapkan terhadap kejadian apapun, yang tidak spesifik dan berlaku sepanjang jaman.


Empat pendekatan di atas dilakukan dengan dasar kepercayaan bahwa rasul Johannes benar-benar menulis kitab ini berdasarkan visi atau inspirasi dari Tuhan. Bila kita menyangkal keempat pandangan tersebut, kita bisa memilih pendekatan kelima, yaitu pendekatan “omong kosong”. Menurut metode ini, kita harus melihat segala kisah aneh dan simbol-simbol dalam kitab ini sebatas halusinasi atau mimpi buruk yang di alami si penulis dalam tidurnya, entah apapun penyebab timbulnya keadaan tersebut. Beberapa jenis tetumbuhan atau jamur terbukti dapat menimbulkan halusinasi. Kontemplasi yang berat juga dapat menyebabkan keadaan tersebut. Tapi marilah kita tidak terburu-buru mempercayai pendekatan ini.
Perkembangan penafsiran kitab wahyu yang dilakukan kaum futuris-historis selalu berkembang seiring jaman, berbagai peristiwa penting seperti peperangan dan bencana seakan-akan menandakan dekatnya akhir jaman. Setiap penafsir memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan simbol-simbol, dan ini sangatlah relatif. Sebagai contoh, seorang sarjana konservatif Protestan akan menafsirkan “Babylon” atau “kerajaan anti-Kristus” sebagai gabungan dari negara-negara Eropa yang dimotori Inggris dan Roma akan bangkit melawan Israel dalam Armageddon, tentu saja perang ini akan dimenangi kaum Israel dengan bantuan Tuhan. Selajutnya kaum Yahudi akan memeluk agama Kristen. Versi yang berbeda akan kita temukan apabila seorang Katolik Roma (Eropa) menafsirkan “Babylon”. Mereka akan menuduh Amerika sebagai kerajaan “Anti-Kristus” tersebut. Setiap sekte Kristen akan memiliki pandangan tersendiri dalam menafsirkan simbol akhir dunia, dan pada akhirnya hanya Tuhanlah yang akan membuktikan kebenaran.

"TUHAN" Filsafat

Ketuhanan dalam agama Yahudi dan Kristen, kata Newton sangat problematic. Karena itu, ia ditolak sains

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *

Pada suatu hari saya naik bis dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris. Disamping saya seorang bule agak kusut. Ia melirik buku teologi yang sedang saya baca. Dan tiba-tiba: Hai mike! Ia menyapa dengan aksen khas Birmingham sambil senyum. Dia bertanya, "Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya"?

Saya tahu konsekuensi jawabannya. Baik jawaban positif maupun negatif hasilnya sama Tuhan tidak berkuasa. Ini pasti pertanyaan seorang sekuler atau ateis, pikir saya. Ia bertanya dan tidak perlu jawaban.

Untuk tidak memberi jawaban panjang saya tanya dia dulu "Could you tell me what do you mean by God?" Benar saja sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari bus sambil meringis.

Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini, pernah diajukan Peter Abelard. Dia sendiri juga bingung menjawab. Pertanyaan sang Bule itu mungkin kulakan dari situ. Tapi yang jelas bukan dari pikirannya sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa ilmu akhirnya menjadi seperti guyonan atau bahkan plesetan.

Di Barat, diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan. Presedennya karena teologi bukan bagian dari thawabit (permanen) tapi mutaghayyiat (berubah). Layaknya wacana furu' dalam fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua. Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog kuwalahan. Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog lalu digeser oleh doktrin Sola Scriptura. Kitab suci bisa difahami tanpa otoritas teolog, sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara tentang Tuhan.

Hadith Nabi idha wussida al-amru ila ghayri ahliha fantaÐir al-sa'ah, (jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu [kehancuran] nya) terbukti. Katolik pun terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-sa'ah itu barangkali lahirnya apa yang disebut dengan modern atheism.

Apa kata Michael Buckley dalam At The Origin of Modern Atheism meneguhkan sabda Nabi. Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan saintis.

Pemikir-pemikir yang ia juluki "para pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis" seperti Lessius, Mersenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan realitas Yesus Kristus. Tapi Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama murni Yesus, katanya.

Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan teolog, Lalu siapa yang bermasalah? Bisa kedua-duanya. Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible. Ia dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata Duane A. Priebe.

Konsep Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible. Tapi malangnya kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern.

Alasannya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakekat Tuhan dan kemudian tentang kebenaran eksistensi Tuhan sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya Biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.

Tapi ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog tuhan agama-agama. Yang problematik, kata Voltaire bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Tuhan Yahudi dan Kristen, kata Newton problematik karena itu ia ditolak sains. Bahkan bagi Hegel, Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan, akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bahkan bagi Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuhNya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, seandainya Tuhan tidak ada, kita wajib menciptakannya. Hanya saja Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang menggelitik.

Belakangan Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis mencoba menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. "Tuhan telah berbicara pada kita tapi kini Ia diam". Sartre lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang teolog Yahudi. Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filsafat hanya bermain dengan imej dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan, katanya.

Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan fikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Martin lalu menggambarkan "nasib" Tuhan di Barat melalui bukunya berjudul Eclipse of God. Saat Blaise Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian dari Perancis meninggal, dibalik jaketnya ditemukan tulisan "Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan Yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan." Kesimpulan yang sangat cerdar. Inilah masalah bagi para filosof itu.

Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang "maju" tanpa teks (kitab suci), tanpa otoritas teolog, dan last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik.

Tuhan, kata Diderot, tidak bisa jadi pengalaman subyektif. Jikapun bisa bagi Kant (1724-1804) juga tidak menjadikan Tuhan "ada". Berfikir dan beriman pada tuhan hasilnya sama. Kant gagal menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia seumur-umur hanya dua kali masuk gereja: waktu di baptis dan saat menikah. Maka dari itu Tuhan tidak bisa hadir dalam alam pikiran filsafatnya.

Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. "Tuhan hanya sekedar ide", katanya. Tuhan hanya nampak dalam bentuk mitos yang tak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang "Kalau saya mencintai Tuhan", katanya, "maka saya tidak memikirkanNya lagi." Hatinya kekanan fikirannya kekiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak melibatkan pikirannya.

Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era modern Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mind-set manusia Barat begini: Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason. Maknanya teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan. Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan. Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi seperti mitologi dalam khayalan. Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang "menempuh ketiadaan yang tanpa batas".

Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim "mengusir" Tuhan dari kampusnya dan membuat plesetan tentang Allah gaya-gaya filosof Barat. Ini guyonan yang tidak lucu, dan wacana intelektual yang wagu. Seperti santri sarungan tapi dikepalanya topi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur western-tainment.

Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak selesainya tanzil. Bagi seorang pluralis ini jelas supremacy claim. Tapi faktanya Kalam dan falsafah tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan filosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan Al-Quran dan hadith cukup untuk membangun peradaban.

Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan, dan teks Al-Quran tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juga tidak terjadi. Malah kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (worldview).

Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat.

Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Jika peradaban Islam dibangun dengan gaya-gaya Barat menghujat Tuhan itu berarti mencampur yang al-haq dengan yang al-batil alias sunt bona mixtra malis. Wallahu alam.
Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Ribuan Manuskrip Islam Kuno Tersimpan di Perpustakaan Universitas AS

Ribuan Manuskrip Islam Kuno Tersimpan di Perpustakaan Universitas AS

Departemen Perpustakaan untuk buku-buku langka di Universitas Princeton, AS ternyata menyimpan ribuan manuskrip Islam yang ditulis dalam bahasa Arab, Persia, Turki Ustmani dan bahasa-bahasa lainnya dari berbagai negara Muslim di dunia.

Saat ini ada sekitar 9.500 manuskrip Islam yang tersimpan di Library's Departemen of Rare Books and Special Collection, Universitas Princeton. Dari jumlah tersebut, 200 manuskrip pilihan di sediakan dalam bentuk online sehingga mudah diakses bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian.

Don Skemer, kurator manuksrip kuno mengatakan, Universitas Princeton adalah salah satu lembaga yang memiliki banyak koleksi manuskrip penting dan terbaik di dunia. Akses online terhadap 200 manuskrip Islam pilihan itu, kata Skemer, adalah bagian dari proyek digitalisasi katalog manuskrip-manuskrip Islam yang sudah dimulai sejak tahun 2005. Nantinya, seluruh manuskrip akan dikatalogkan secara online dilengkapi dengan informasi tentang penulis dan isi manuskrip untuk membantu para peneliti apakah akan memesan salinan dalam bentuk mikro film atau hanya perlu datang sendiri ke perpustakaan.

"Digitalisasi katalog manuskrip-manuskrip Islam secara khusus dilakukan agar perpustakaan bisa meningkatkan aksesnya terhadap koleksi-koleksi manuskrip yang sangat penting dan memberikan kesempatan bagi dunia untuk ikut membacanya lewat teknologi digital," jelas Skemer.

Michael Cook, seorang profesor bidang studi Timur Jauh dan pakar Islam di Amerika menyambut proyek digitalisasi katalog manuskrip-manuskrip Islam di Universitas Princeton. "Perpustakaan online menandai kemajuan dalam hal layanan informasi tentang perkembangan manuskrip, di mana setiap orang bisa mengaksesnya lewat intenet," ujarnya.

Manuskrip-manuskrip Islam yang tersimpan di Universitas Princeton adalah manuskrip-manuskrip bersejarah yang dari masa awal perkembangan Islam sampai jatuhnya dinasti Turki Ustmani yang menandai berakhirnya kekhilafahan Islam. Manuskrip-manuskrip itu berupa ensiklopedi, sejarah, biografi, literatur, buku-buku seni, ilustrasi, tentang hal-hal ghaib, astrologi, astronomy, matematika, kedokteran dan berbagai tulisan ilmiah serta spiritual dari berbagai belahan dunia Islam, mulai dari Spanyol, Afrika, Timur Tengah, India dan Indonesia.

Perpustakaan itu juga menyimpan manuskrip-manuskrip pilihan yang ditulis dalam bahasa Persia serta gambar-gambar miniatur jaman Mughal dan kaligrafi dari abad ke-18. (ln/isc/PU)

PERCAKAPAN YESUS YANG TERAKHIR. PARAKLET YANG TERSEBUT DALAM INJIL YAHYA

Yahya adalah satu-satunya pengarang Injil yang
menyebutkan riwayat percakapan Yesus yang terakhir
dengan para rasul (sahabat), yaitu pada akhir santapan
Yesus dan sebelum ia ditangkap oleh tentara Romawi;
percakapan tersebut berakhir dengan pidato yang amat
panjang. Empat fasal dalam Injil Yahya (14-17)
dikhususkan untuk pidato tersebut; ini tak ada
bandingannya dalam Injil-Injil lain. Padahal
fasal-fasal Yahya tersebut membicarakan soal-soal
pokok, perspektif (pandangan terhadap) hari depan yang
sangat penting; dan kedua hal tersebut ditulis dengan
penuh keagungan yang layak bagi peristiwa itu, yaitu
peristiwa perpisahan terakhir antara guru dan
murid-muridnya.

Bagaimana kita dapat menerangkan mengapa riwayat
perpisahan yang mengharukan dan yang mengandung
pesan-pesan spiritual Yesus, tidak terdapat dalam Injil
Matius, Markus dan Lukas? Kita dapat memajukan
soal-soal sebagai berikut: Apakah teks tentang
perpisahan tersebut terdapat dalam ketiga Injil yang
pertama kemudian teks-teks tersebut dihilangkan?
Mengapa dihilangkan? Tetapi marilah kita jawab sendiri
sendiri. Tidak ada jawaban terhadap soal-soal tersebut.
Rahasia tetap tersembunyi mengenai kekurangan yang
sangat besar dalam ketiga Injil pertama.

Jiwa daripada riwayat khutbah Yesus dapat kita
gambarkan dalam percakapan tingkat tinggi tersebut,
yaitu perspektif tentang hari kemudian manusia dan
minat Yesus menyampaikan ajaran-ajaran dan perintahnya
kepada seluruh manusa dengan perantaraan
murid-muridnya; juga untuk memastikan pemimpin yang
definitif yang harus diikuti oleh manusia setelah Yesus
tidak ada lagi. Teks Injil Yahya (dan hanya Injil
tersebut) menunjuknya secara terang dengan nama Yunani
Paraklitos; kata itu dalam bahasa Perancis Paraklet. Di
bawah ini saya kutip paragraf-paragraf yang pokok
menurut Terjemahan Ekumenik daripada Bibel Perjanjian
Baru.

"Jika kamu cinta kepadaku, ikutilah
perintah-perintahku, Aku akan mohon kepada Bapa: Ia
akan memberi kamu seorang Paraklet lain" (14, 15-16).
Apakah arti Paraklet? Teks Injil Yahya yang kita miliki
menjelaskan arti itu sebagai berikut:

"Paraklet, Ruhul Kudus yang Bapa akan mengutusnya atas
namaku, akan menyampaikan segala sesuatu kepadamu dan
mengingatkan kamu tentang apa yang telah aku katakan
kepadamu." (14, 26).

"Ia akan menyampaikan sendiri kesaksiannya daripadaku
(15, 26). "Adalah baik bagimu jika aku pergi; karena
jika aku tidak pergi, Paraklet tidak akan datang
kepadamu; tetapi jika aku pergi, aku akan mengirim dia
kepadamu. Dan dengan kedatangannya ia akan menerangkan
kepadamu isi dunia ini dari hal dosa dan keadilan dan
hukuman." (16, 7-8).

"Jika Ruh Kebenaran datang, ia akan membawa kamu kepada
segala kebenaran karena ia tidak akan berkata dari
dirinya sendiri, akan tetapi ia akan mengatakan segala
hal yang didengarnya dan mengatakan kepadamu segala hal
yang akan datang. Ia akan memuliakan aku." (16, 13-14).

(Perlu diterangkan di sini bahwa paragraf-paragraf yang
tidak kita kutip dari fasal 14-17 dari Injil Yahya
tidak akan merubah arti umum daripada kutipan-kutipan
di atas).

Jika orang membaca dengan lekas, teks Prancis yang
mengidentikkan kata Yunani, Paraklet dengan Ruhul Kudus
tidak akan menarik perhatiannya. Lebih-lebih
judul-judul kecil dalam teks yang biasanya dipakai
dalam terjemahan, serta istilah-istilah ahli tafsir
yang dipakai dalam buku-buku untuk orang awam, semuanya
mengarahkan pembaca kepada arti paragraf yang diberikan
oleh faham resmi Gereja. Jika ada yang merasakan
kesukaran, maka keterangan yang diberikan oleh Kamus
Kecil tentang Perjanjian Baru karangan A. Tricot
umpamanya akan dapat memberikan penjelasan.

Dalam Kamus Kecil itu, di bawah artikel: Paraklet, kita
dapatkan keterangan seperti berikut:

"Nama atau julukan itu, yang disalin dari bahasa Yunani
ke bahasa Perancis, tidak dipakai dalam Perjanjian Baru
kecuali oleh Yahya; empat kali waktu ia meriwayatkan
khutbah Yesus setelah santapan19 (14, 16 dan 26, 15,
26, 16, 7) dan satu kali dalam surat Yahya yang pertama
(2,1). Dalam Injil Yahya, kata itu dipakai untuk Ruhul
Kudus; dalam surat Yahya, kata itu dipakai untuk Yesus.
"Paraklet" adalah suatu istilah yang banyak dipakai
oleh orang-orang Yahudi Yunani abad pertama dan
berarti: .juru syafa'at, (yang mempertahankan). Yesus
mengumumkan: Ruh (esprit) akan dikirim oleh Bapa dan
Anak dan tugasnya adalah untuk menyempurnakan si Anak
dalam tugas penyelamatannya yang dilakukannya selama
hidupnya untuk murid-muridnya. Ruh akan campur tangan
dan bertindak sebagai pengganti Kristus dalam tugasnya
sebagai Paraklet atau juru syafa'at yang kuasa."

Komentar tersebut menjadikan Ruhul Kudus pemimpin
tertinggi bagi manusia sesudah Yesus tidak ada. Apakah
penjelasan A. Tricot tersebut sesuai dengan teks Yahya.
Pertanyaan ini harus kita majukan oleh karena, secara a
priori, nampak mengherankan jika kepada Ruhul Kudus
kita nisbatkan paragraf terakhir yang telah kita
sebutkan di atas. "Ia tidak akan berkata dari dirinya
sendiri akan tetapi ia akan mengatakan segala hal yang
didengarnya dan mengatakan kepada kamu segala hal yang
akan datang." Terasa tidak masuk akal jika kita
mengatakan bahwa Ruhul Kudus dapat bicara dan dapat
menyampaikan segala yang ia dengar. Sepanjang
pengetahuan saya, soal yang mestinya harus ditimbulkan
oleh logika, pada umumnya tidak menjadi soal bagi ahli
tafsir Injil.

Untuk mendapatkan gambaran yang pasti mengenai soal
ini, kita harus kembali kepada Naskah dasar Yunani yang
sangat penting untuk menunjukkan apakah Yahya menulis
Injilnya dalam bahasa Yunani dan bukan dalam bahasa
lain.

Teks Yunani yang kita baca adalah Novam Testameritum
Graece; terbitan Nestle dan Aland tahun 1971.

Tiap-tiap kritik teks yang sungguh-sungguh, dimulai
dengan menyelidiki perbedaan. Dalam kumpulan-kumpulan
manuskrip Injil Yahya yang telah diketahui, tidak ada
perbedaan yang mungkin merubah arti kalimat-kalimat,
kecuali perbedaan-perbedaan dalam paragraf 14, 26
daripada versi dalam bahasa Syriac, yaitu versi yang
dinamakan Palimpseste.20 Dalam teks ini tak disebutkan
Ruhul Kudus; tetapi hanya Ruh, tanpa tambahan. Apakah
tukang naskahnya lupa, atau ia menghadapi suatu teks
yang harus dicopy, tetapi oleh karena teks itu
mengatakan bahwa Ruhul Kudus dapat mendengar dan
bicara, maka ia tidak berani menulis hal-hal yang ia
anggap tidak masuk akal? Selain pengamatan ini, tak ada
perbedaan lain, kecuali perbedaan gramatika yang tidak
merubah arti umum; yang sangat penting adalah bahwa
yang telah kita terangkan di sini mengenai arti kata
kerja: "mendengar" dan "bicara" terdapat dalam semua
manuskrip Injil Yahya, dan itulah yang terjadi.

Kata kerja "dengar," dalam bahasa Yunani akoua, yang
artinya merasakan suara. Dan bahasa Yunani akoua ini
kita dapatkan kata acoustic yang berarti ilmu suara.

Kata kerja "bicara" dalam bahasa Yunani laleo, yang
artinya mengeluarkan suara, khususnya bicara. Kata
kerja laleo ini, sering terdapat dalam teks Injil
Yunani untuk menunjukkan suatu pernyataan yang penting
yang dikatakan oleh Yesus dalam ceramah-ceramahnya.
Jadi nyata bahwa tugas Yesus untuk dakwah kepada
manusia tidak hanya terdiri dari wahyu yang dibawa oleh
Ruhul Kudus tetapi tugas dakwah itu mempunyai bentuk
material yang nyata, yaitu sebagai yang difahami dari
arti kata Yunani, yakni mengeluarkan suara.

Dua kata kerja Yunani akoua dan laleo adalah perbuatan
yang konkrit yang hanya dilakukan oleh makhluk yang
diberi alat untuk mendengar dan bicara. Memakai dua
kata kerja tersebut untuk Ruhul Kudus adalah tidak
mungkin.

Dengan begitu maka berdasarkan atas manuskrip Yunani,
teks paragraf Injil Yahya sama sekali tidak dapat
dimengerti, jika kita terima secara keseluruhan, yakni
dengan kata "Ruhul Kudus" dalam paragraf (14, 26) yang
berbunyi: "Paraklet, Ruhul Kudus yang akan dikirim oleh
Bapa, atas namaku" seterusnya, satu-satunya paragraf
dalam Injil Yahya yang mengidentikkan Paraklet dengan
Ruhul Kudus.

Akan tetapi jika kita hilangkan kata-kata Ruh Kudus (to
pneuma to agion) dari paragraf ini, seluruh teks Yahya
mempunyai arti yang sangat jelas. Sesungguhnya teks
Yahya tersebut juga sudah dikonkritkan oleh teks lain
daripada Yahya sendiri, yaitu teks surat Yahya yang
pertama, di mana Yahya memakai kata Paraklet untuk
menunjuk Yesus sebagai juru syafa'at di hadapan
Tuhan.21 Dan jika menurut Injil Yahya (16, 14;) "Aku
akan mendo'a kepada Bapa, Ia akan mengirim Paraklet
lain," ini berarti bahwa akan dikirim seorang Paraklet
(juru Syafa'at) seperti dia, selama berada di atas
bumi.

Kita mendapat kesimpulan menurut logika bahwa Paraklet
yang disebutkan oleh Yahya adalah seorang manusia
seperti Yesus, yang dianugerahi anggauta untuk
mendengar dan bicara yang diakui dalam teks Yunani
secara formal. Jadi, Yesus mengumumkan bahwa Tuhan
kemudian akan mengirim seorang manusia di atas bumi ini
untuk memainkan suatu peranan yang dijelaskan oleh
Yahya, yaitu dengan ringkas, peranan seorang nabi yang
mendengar suara Tuhan dan mengulangi risalahnya kepada
manusia. Ini adalah interpretasi logis dari teks Yahya,
jika kita memberi arti yang real kepada kata-kata.

Adanya kata Ruhul Kudus dalam teks yang kita miliki
sekarang mungkin ada hubungannya dengan
tambahan-tambahan baru yang disengaja untuk merubah
arti yang sesungguhnya dalam suatu paragraf yang
berkontradiksi dengan ajaran Gereja-gereja Kristen yang
ingin mengatakan bahwa Yesus itu adalah Nabi yang
terakhir, karena paragraf tersebut mengumumkan
kedatangan seorang Nabi sesudah Yesus.

Minggu, 26 September 2010

Tudingan Misionaris JIL dan Penginjil Kristen: Rasulullah Menikah Secara Kristen di Gereja?

Oleh : Ahmad Hizbullah MAG ( ahmadhizbullah@gmail.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it )

Setali tiga uang!! Itulah misi yang diusung oleh para misionaris JIL –kelompok jaringan liberal berkedok Islam– dan penginjil Kristen. Hal ini nampak nyata dengan banyaknya persamaan jurus ketika mereka menggugat Islam baik kesucian Rasulullah, otentisitas Al-Qur'an wahyu Allah, validitas hadits Nabi, maupun keagungan syariat Islam. Salah satu objek yang tak pernah surut dari hujatan para misionaris JIL dan penginjil Kristen adalah soal pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah bintu Khuwailid.

Mohamad Guntur Romli, salah seorang punggawa JIL menuding pewahyuan Al-Qur'an adalah proses kolektif, baik sumber maupun proses kreatifnya. Al-Qur'an adalah kitab saduran yang menyunting (mengedit) keyakinan dan kitab suci Kristen sekte Ebyon, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya. Salah satu kepentingannya adalah karena kedekatan Nabi Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, seorang rahib Kristen Ebyon, yang memiliki jasa besar dalam menikahkannya dengan Khadijah. Berikut tuduhan Guntur:

“Bukti lain bahwa Al-Quran tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam Al-Quran berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al-Quran, Isa (Yesus) hanyalah seorang rasul, bukan anak Allah, dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara itu, dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk menebus dosa umatnya.

Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati disalib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bidah...

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al-Quran lebih memilih pandangan Ebyon yang minoritas dan keyakinannya dianggap bidah oleh mayoritas Kristen waktu itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan Muhammad–Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah (Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.

Waraqah adalah wali Khadijah yang menikahkannya dengan Muhammad. Seorang perempuan kali itu –yang kemudian dilanjutkan oleh syariat Islam– tidak bisa menikah tanpa seorang wali laki-laki. Bisa dibayangkan kedekatan Waraqah dengan Khadijah dan Muhammad.

Kesimpulan saya sementara kisah Isa (Yesus) dalam Al-Quran, yang menegaskan bahwa Isa hanyalah seorang rasul, bukan anak Tuhan, dan tidak ada penyaliban terhadapnya adalah “saduran” dari keyakinan sebuah sekte Kristen: Ebyon.” (Pewahyuan Al-Qur'an: Antara Budaya dan Sejarah,” (http://www.korantempo.com/).

“Tudingan Guntur itu bukan hal yang baru dalam daftar gugatan para musuh Islam. Jauh sebelumnya, tudingan yang sama dilontarkan oleh Pendeta Muhammad Nurdin –anggota WASAI/TAZI Lembaga Alkitab Indonesia– dengan dosis yang lebih tinggi. Dalam buku-buku kristenisasi berkedok Islam yang ditulisnya, Nurdin menuding Rasulullah sebagai orang yang banyak berhutang budi kepada Kristen karena sebelum jadi nabi, Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang wanita Kristen yang taat ke gereja.

Prosesi pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilangsungkan dengan tatacara ritual Kristen, di mana yang bertindak sebagai wali nikah adalah pastur besar bernama Romo Waraqah bin Naufal. Maka dalam khutbah nikah tersebut Romo Waraqah membacakan ayat-ayat Taurat dan Injil. Tak lupa, Romo Waraqah menghadiahkan kado nikah kepada Muhammad berupa sebuah Alkitab (Bibel). Setelah menikah, selama 15 tahun Muhammad kursus Alkitab (Bibel) bersama Khadijah. Atas dasar itulah, maka Nurdin menyimpulkan bahwa Muhammad pernah beribadah secara Kristen di gereja selama 15 tahun bersama Khadijah dan pamannya, Romo Waraqah bin Naufal.

“Bila pamannya Siti Khadijah yaitu Waraqah bin Naufal, faham akan Taurat dan Injil, beliau adalah seorang Pendeta besar, atau seorang Pastur besar atau seorang Penginjil besar dan pada pernikahan Muhammad SAW dan Siti Khadijah tentulah beliau bertindak sebagai Wali atau Penghulu pada waktu itu, dan menyampaikan Firman Allah yaitu Taurat dan Injil, agama Yahudi dan Nasrani, karena agama Islam dan Alquran belum ada pada waktu itu” (Keselamatan Didalam Islam, hlm. 24).
“Pada waktu pernikahan berlangsung antara Muhammad SAW dengan Siti Khadijah seorang Nasrani, dan pasti hadiah Waraqah bin Naufal sebagai seorang Pendeta atau Pastur adalah sebuah Alkitab. Dan tentu Muhammad SAW selama 15 tahun bersama istrinya Siti Khadijah mempelajari Alkitab” (Keselamatan Didalam Islam, hlm. 53).

“Istri beliau Siti Khadijah beragama Kristen Nasrani dan paman beliau Waraqah bin Naufal adalah pendeta bersama pendeta alim Buhaira namanya, dan umat pada waktu itu adalah semua umat Kristen Nasrani yang beribadah tentu di gereja, karena masjid pada waktu itu belum ada” (Ayat-ayat Penting di dalam Al-Qur’an, hlm. 68).

“Pada waktu Muhammad SAW berumur 25 tahun beliau menikah dengan Khadijah yang beragama Nasrani. Dan pada waktu itu Muhammad SAW berumur 40 tahun beliau bertahanuts menyendiri. Bila demikian Muhammad SAW telah bersama istrinya selama 15 tahun, beliau tentu beribadah bersama istrinya dan pamannya Waraqah bin Naufal dan Pendeta Buhaira yang mana tentu Muhammad SAW ikut beribadah Nasrani dan beliau bertahanuts menyendiri dengan segala bekal dan pelajaran Alkitab, Taurat dan Injil” (Keselamatan Didalam Islam, hlm. 35).


Sebenarnya, pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah sudah lama jadi primadona bagi para misionaris JIL dan Kristen untuk menyengat akidah Islam. Tetapi lemahnya validitas data menjadikan tulisan mereka bernilai tak lebih dari sebuah “teologi imajiner.” Karenanya, kita tidak butuh rekayasa dan dugaan-dugaan untuk membantah tuduhan-tuduhan itu, karena sejarahlah yang otomatis menjawabnya:

Pertama, Khadijah bintu Khuwailid memang memiliki paman seorang rahib bernama Waraqah bin Naufal. Tapi Waraqah bukanlah orang yang menikahkan Khadijah dengan Muhammad. Kitab-kitab sejarah Nabi mencatat bahwa yang meminang Khadijah adalah paman Muhammad yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Lalu yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, sedangkan yang memberikan khutbah nikah adalah Abu Thalib, paman Muhammad. Maharnya pun bukan Alkitab (Bibel), tapi 20 ekor unta. (lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, juz I, hlm. 201).

Kedua, Fakta-fakta ini sekaligus menampik tudingan Pendeta Nurdin bahwa pernikahan Muhammad dihiasi dengan khutbah ayat-ayat Alkitab (Bibel) yang disampaikan oleh Pastur Waraqah bin Naufal.

Ketiga, fakta bahwa yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, ini harus digarisbawahi oleh Guntur Romli. Karena dengan fakta ini, maka tudingannya terhadap Nabi Muhammad sebagai orang yang menyadur kisah-kisah Bibel sebagai balas jasa terhadap rahib Waraqah yang menikahkannya dengan Khadijah, terbantah secara otomatis.

Keempat, Tuduhan bahwa Muhammad menikahi Khadijah dengan tatacara Kristen karena pada waktu itu Islam belum ada karena Muhammad belum menjadi Nabi, ini adalah logika kelirumologi yang naif.

Untuk menganalisa ritual pernikahan yang dipakai oleh Muhammad dan Khadijah, kita tidak perlu repot-repot dan merekayasa tatacara pernikahan yang diterima oleh bangsa Arab pada waktu itu. Bangsa Arab pada waktu itu masih mengikuti adat-istiadat yang diwarisi turun-temurun dari syariat Nabi Ibrahim yang hanif. Hal ini terbukti, mereka masih melaksanakan syariat khitan dan menghormati Ka’bah yang didirikan oleh Nabiyullah Ibrahim dan putranya, Ismail alaihissalam. Secara historis, bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim melalui Ismail yang menikahi penduduk Mekkah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman. Keturunan Ismail inilah yang beranak-pinak di Mekkah yang disebut sebagai Bani Ismail atau Adnaniyyun.

Sampai zaman Muhammad belum diangkat Allah sebagai Nabi, bangsa Arab meyakini bahwa pemeliharaan serta kepemimpinan dalam upacara keagamaan di depan Ka’bah itu adalah hak Bani Ismail. Salah satu pemimpin kabilah Quraisy dari keturunan Ismail adalah Qushaiy.

Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa satu-satunya syariat yang diterapkan dalam pernikahan Muhammad dengan Khadijah adalah syariat hanif Nabi Ibrahim.

Kelima, Anggapan Pendeta Nurdin bahwa Khadijah adalah seorang Kristen yang aktif di gereja, tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena dia tidak mencantumkan satu referensi pun dalam tulisannya. Untuk mengetahui dengan pasti apa agama yang dianut Khadijah pada waktu itu, sebaiknya Nurdin membaca buku Khadijah: Drama Cinta Abadi Sang Nabi tulisan Dr Muhammad Abduh Yamani. Berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya, buku ini menyimpulkan bahwa Khadijah bukan seorang Kristen, melainkan penganut agama Ibrahim alaihissalam (Al-Hanif) yang mendapat gelar “Ath-Thahirah” (perempuan suci).
Keenam, tudingan bahwa Rasulullah menyadur kisah-kisah Bibel sesuai dengan kepentingannya juga sangat rapuh. Hanya orang kafir saja yang pantas melakukan tudingan ini.

“Dan orang-orang kafir berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanya¬lah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain, maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar” (Qs Al-Furqan 4).

Tuduhan bahwa Nabi Muhammad menjiplak Bibel terbantah oleh kenyataan bahwa beliau adalah seorang nabi yang ummiy (buta aksara). Allah menegaskan hal ini dalam surat Al-‘Ankabut 48-49 dan Al-A’raf 157-158. Meski ditakdirkan sebagai seorang yang ummiy yang tidak bisa menyadur kitab-kitab terdahulu, tapi seluruh ayat Al-Qur'an tidak dapat diragukan, justru semakin terjamin otentisitasnya karena segala yang disampaikan Nabi Muhammad adalah wahyu (inspirasi) langsung dari Allah (Qs. An-Najm 3-5).
Salah satu buktinya adalah ayat Al-Qur'an:

“...Dan orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah.” Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.” (Qs. At-Taubah 30).

Ayat ini menyatakan bahwa doktrin ketuhanan Yesus (Trinitas) adalah doktrin yang menjiplak keyakinan orang-orang kafir (pagan) sebelumnya. Ternyata, sejarah membuktikan bahwa Trinitas Kristiani yang meyakini Tuhan ada 3 oknum: Tuhan Bapa, Tuhan Ana dan Roh Kudus adalah doktrin yang sudah ada jauh sebelum Kristen lahir ke dunia. Buktinya, di Mesir sudah Trinitas yang meyakini: Osiris, Horus dan Isis, masing-masing sebagai Tuhan Bapa, Anak dan Ibu. Horus diyakini sebagai juru selamat yang mati menebus dosa dengan darahnya, dikuburkan, kemudian jasadnya bangkit pada hari ketiga kemudian bangkit lagi.

Trinitas/Trimurti di India (Hindu), meyakini Tuhan terdiri dari tiga oknum (Trimurti), yaitu Brahma (Tuhan Bapa), Wisnu (Tuhan Pemelihara), dan Syiwa (Tuhan Pembinasa). Brahma mempunyai seorang anak yang tunggal yaitu Krisna yang dilahirkan di kandang sapi. Oknum ketiga dari Trimurti adalah Syiwa. Kepadanya sering dikorbankan beratus-ratus nyawa manusia. Tetapi, menurut pemeluk Hindu, nyawa-nyawa yang dikorbankan itu sesungguhnya adalah inkarnasi Syiwa sendiri.

Di Persia (Mitraisme), meyakini Mitra (dewa matahari) sebagai Juru selamat penebus dosa yang lahir dari seorang perawan pada hari Minggu tanggal 25 Desember. Hari Minggu mereka yakini sebagai hari suci, dalam perkembangannya, tradisi ini diabadikan sebagai hari suci untuk beribadah di gereja oleh umat Kristen. Sehingga hari Minggu disebut sebagai Sunday (hari Matahari).

Coba perhatikan, wahyu yang diterima Rasulullah menyatakan “yudhohi’una qaulalladziina kafaruu min qablu” (mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.” Sungguh tepat apa yang disampaikan oleh Nabi dengan sejarah yang sudah ada jauh sebelum beliau lahir. Padahal Rasulullah tidak pernah membaca buku-buku sejarah maupun enskiklopedi agama, karena beliau adalah seorang yang ummiy. Tidakkah hal ini direnungkan oleh para misionaris JIL dan Kristen?